Polahi adalah
julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut
cerita yang beredar di masyarakat, polahi adalah masyarakat pelarian zaman
dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh
Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat
ini. Mereka hidup di pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa,
Provinsi Gorontalo.
Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda, yang
katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar
500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di
Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil.
Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi masyarakat
Polahi dengan Kelompok 9, Kelompok 18, Kelompok 21, Kelompok 70, dan
sebagainya, berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu "kampung".
Literatur mengenai masyarakat ini tak ada. Bahasanya adalah dialek
Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam
alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal
pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari
daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat
di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan
fasilitas kesehatan modern. Untuk mencapai Kelompok 9, diperlukan jalan kaki
naik gunung sekitar tujuh jam.
Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak
mempunyai pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal
hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Angka maksimum yang dapat mereka hitung
adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". orang Polahi hanya mengenal
dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".
Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kelompok 9
adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia
mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak mempunyai anak,
sedangkan satu lagi mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan.
Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan mudah
dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan masyarakat ini,
mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar